Categories
Keluarga

Contoh, Penyebab, dan Dampak Bullying Verbal dan Non Verbal pada Anak

BRAIN PersonalitiesSobat BRAIN, pernahkah kamu mendengar anak berkata, “Aku tidak mau ke sekolah lagi”? Banyak orang tua mungkin mengira itu hanya tanda malas belajar, padahal bisa jadi ada hal yang jauh lebih dalam bullying verbal dan non verbal yang diam-diam melukai hati dan kepercayaan dirinya.

Menurut data UNICEF Indonesia (2023), lebih dari 35% anak usia sekolah pernah mengalami bentuk kekerasan sosial, terutama berupa bullying verbal seperti ejekan, hinaan, atau julukan kasar, serta bullying non verbal seperti pengucilan, tatapan menghina, atau perilaku diam penuh tekanan.

Yang mengkhawatirkan, dampak bullying verbal dan non verbal tidak hanya membuat anak kehilangan semangat belajar, tapi juga bisa mengubah struktur otak dan pola pikir mereka terhadap diri sendiri dan dunia (hasil riset National Institute of Mental Health, 2022).

Yuk, Sobat BRAIN, kita bahas bersama apa itu bullying verbal dan non verbal, dampaknya bagi anak, hingga cara mengatasinya dengan pendekatan empati dan neuroscience!

Baca juga: Bahaya Dampak Helicopter Parenting dan Cara Mengatasinya

Apa Itu Bullying Verbal dan Non Verbal

Sobat BRAIN, kamu mungkin sering mendengar istilah “bullying” tapi tahukah kamu bahwa tidak semua bentuk perundungan dilakukan dengan kekerasan fisik? 

Sebagian besar justru terjadi secara verbal dan non verbal yang mana dua bentuk yang tampak “ringan”, tapi sebenarnya bisa meninggalkan luka psikologis mendalam. 

Berdasarkan riset terbaru dari UNESCO (2023), hampir 1 dari 3 anak di dunia mengalami bullying verbal di sekolah, dan lebih dari 25% mengalami pengucilan sosial atau bentuk non verbal lainnya. 

Sementara itu, studi dari Child Mind Institute (2022) menemukan bahwa dampak bullying non verbal seperti pengucilan, tatapan menghina, dan isolasi sosial bisa memicu respons otak yang sama dengan rasa sakit fisik. 

Fakta ini menunjukkan bahwa bullying bukan hanya tentang tindakan kasar secara fisik, tapi juga tentang kata-kata dan perilaku halus yang mampu mengikis harga diri anak sedikit demi sedikit.

Lantas apa itu bullying verbal dan non verbal?

1. Bullying Verbal

Bullying verbal adalah bentuk kekerasan menggunakan kata-kata untuk menyakiti, merendahkan, atau mempermalukan orang lain.

Contohnya seperti: mengejek fisik (“Kamu gendut banget”), merendahkan kemampuan (“Kamu bodoh banget sih!”), atau bahkan memberi julukan kasar (“Si jelek”, “Si kampung”).

Meski “hanya kata-kata”, bullying verbal bisa mengikis harga diri dan citra diri anak secara perlahan. 

Otak anak yang terus menerima kata negatif akan merekamnya sebagai “kebenaran”. Akibatnya, anak bisa tumbuh dengan keyakinan diri rendah dan trauma sosial yang sulit disembuhkan.

2. Bullying Non Verbal

Sementara itu, bullying non verbal tidak menggunakan kata-kata, melainkan bahasa tubuh, gestur, atau perlakuan sosial yang menyakiti.

Misalnya: menatap sinis, mengucilkan teman dari kelompok, tidak diajak bermain, menertawakan saat anak lain berbicara, atau sengaja mendiamkan.

Menurut studi dari APA (American Psychological Association, 2021), tindakan non verbal seperti pengucilan sosial dan tatapan merendahkan bisa memicu rasa sakit psikologis yang sama intensnya dengan luka fisik, karena bagian otak yang aktif (anterior cingulate cortex) sama dengan saat seseorang benar-benar terluka.

Baca juga: Dampak Kasus Bullying di Sekolah dan Cara Menanganinya

Dampak Bullying Verbal dan Non Verbal pada Anak

Sobat BRAIN, kamu tahu nggak kalau efek bullying itu nggak berhenti setelah ejekan atau perlakuan buruk berakhir? 

Laporan Kompas (2024) juga menyoroti meningkatnya kasus trauma emosional pada anak akibat bentuk perundungan yang tidak tampak seperti kata-kata kasar dan pengucilan sosial. 

Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa bullying bukan sekadar konflik kecil antar teman, tapi serangan sistematis terhadap kesejahteraan emosional, sosial, dan akademik anak. 

Efeknya bisa mengubah cara kerja otak, kepribadian, hingga masa depan anak jika tidak ditangani dengan tepat. Mari kita bahasa dampak bullying verbal dan non verbal bagi anak!

1. Gangguan Emosional dan Kepercayaan Diri

Anak korban bullying verbal dan non verbal sering merasa tidak berharga, malu, atau takut berbicara di depan umum. Mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang sulit percaya pada orang lain dan selalu merasa salah. 

Riset dari Harvard Graduate School of Education (2023) menunjukkan, anak yang sering menerima kata-kata negatif berpotensi mengalami self-esteem disorder hingga 60% lebih tinggi dibanding anak yang mendapat lingkungan suportif.

Efeknya bisa terbawa hingga dewasa sehingga membuat mereka sulit membangun hubungan yang sehat karena merasa tidak pantas dicintai atau dihargai.

2. Gangguan Kognitif dan Prestasi Akademik

Dampak bullying verbal juga menyerang fungsi otak. Tekanan sosial berulang memicu stres kronis yang menurunkan aktivitas di prefrontal cortex, area otak yang berperan dalam konsentrasi dan perencanaan.

Akibatnya, anak sulit fokus, cepat lupa, dan cenderung kehilangan motivasi belajar.

Menurut Journal of Child Development (2022), anak yang mengalami bullying lebih dari 6 bulan menunjukkan penurunan kemampuan berpikir logis dan kreativitas hingga 25%. 

Ini menjelaskan kenapa prestasi akademik mereka sering menurun meski awalnya berpotensi tinggi.

3. Risiko Gangguan Mental Jangka Panjang

Baik bullying verbal maupun non verbal bisa meninggalkan luka psikis jangka panjang. Beberapa anak mengembangkan gejala kecemasan sosial, depresi, hingga trauma pasca-kejadian (PTSD). 

Tanpa intervensi dini, efek ini bisa terbawa hingga masa remaja bahkan dewasa.

Miliki Ebook Tantrum Disini

Ebook Cara Mengatasi Tantrum Anak - Buku Tantrum - 3 Menit Atasi Tantrum Anak

Baca juga: Tips Menangani Anak Tantrum secara Sehat dengan Pendekatan Neurosains

Contoh Bullying Verbal dan Non Verbal pada Anak

Sobat BRAIN, tahukah kamu bahwa lebih dari 40% kasus perundungan di sekolah terjadi dalam bentuk verbal dan non verbal, bukan fisik? 

Temuan ini berasal dari laporan UNICEF Indonesia (2024) yang menyoroti bagaimana ejekan, gosip, tatapan merendahkan, hingga pengucilan sosial menjadi bentuk bullying paling sering dialami anak-anak di sekolah dasar dan menengah. 

Mirisnya, banyak guru dan orang tua tidak menyadarinya karena perilaku ini tampak “sepele”  padahal dampaknya bisa menghancurkan rasa percaya diri anak. 

Riset dari Harvard Center on the Developing Child (2023) juga menjelaskan bahwa bullying verbal dan non verbal dapat mengaktifkan area otak yang sama seperti rasa sakit fisik, sehingga anak yang dibully akan mengalami penderitaan emosional yang nyata, bukan hanya perasaan “baper”. 

Yuk, Sobat BRAIN, kita bahas contoh-contoh nyata agar kamu bisa lebih peka mengenalinya.

1. Contoh Bullying Verbal

Beberapa bentuk bullying verbal di sekolah antara lain:

  • Mengejek nama orang tua atau kondisi keluarga.
  • Menghina fisik, warna kulit, atau pakaian.
  • Menggunakan kata kasar atau sarkasme.
  • Menyebarkan gosip atau fitnah lewat ucapan.

Dari luar, ini mungkin tampak seperti candaan. Tapi bagi anak yang sensitif, kata-kata tersebut bisa terasa seperti “serangan” yang menghancurkan rasa aman.

2. Contoh Bullying Non Verbal

Sementara itu, bullying non verbal sering kali tidak disadari karena tidak melibatkan kata-kata:

  • Menyenggol atau mendorong dengan sengaja.
  • Melengos atau mendengus saat anak berbicara.
  • Menghindari interaksi sosial secara sistematis.
  • Membuat gesture mengejek atau menirukan dengan niat mempermalukan.

Perilaku ini bisa menciptakan lingkungan sosial yang beracun, di mana anak merasa selalu diawasi atau dinilai.

Baca juga: Cara Menangani Anak Mudah Tersinggung & Marah

Penyebab Bullying Verbal dan Non Verbal

Sobat BRAIN, tahukah kamu bahwa penelitian terbaru dari UNICEF (2024) menemukan hampir 1 dari 3 anak di Indonesia pernah terlibat dalam perilaku bullying baik sebagai korban maupun pelaku? 

Lebih dari separuh di antaranya mengaku tidak memahami alasan mereka melakukannya, hanya meniru lingkungan sekitar. 

Artinya, penyebab bullying verbal dan non verbal tidak sesederhana “anak nakal”, tetapi kompleks yang  melibatkan lingkungan, kebutuhan psikologis, hingga proses kerja otak yang belum matang. 

Yuk, kita bahas lebih dalam agar kamu bisa memahami akar permasalahannya dan membantu anak-anak tumbuh jadi pribadi yang lebih empatik.

1. Lingkungan yang Kurang Empatik

Bullying sering tumbuh di lingkungan di mana empati tidak ditanamkan sejak dini. Anak yang terbiasa melihat orang dewasa berbicara kasar, merendahkan, atau menyindir orang lain bisa menganggap perilaku itu normal.

Mereka meniru karena otaknya merekam pola tersebut sebagai cara untuk mendapat perhatian atau kekuasaan.

2. Kebutuhan Pengakuan dan Rasa Aman yang Salah Arah

Beberapa pelaku bullying justru pernah menjadi korban juga. Mereka menggunakan intimidasi sebagai cara salah untuk merasa kuat. 

Riset dari Yale Child Study Center (2021) menunjukkan, pelaku bullying sering memiliki tingkat stres dan kecemasan yang tinggi.

3. Kurangnya Keterampilan Regulasi Emosi

Dari perspektif neuroscience, anak yang tidak terlatih mengelola emosinya cenderung menggunakan agresi verbal atau sosial saat merasa terancam atau cemburu. Area amigdala di otak mereka lebih aktif daripada prefrontal cortex yang mengatur logika dan empati.

Oleh karena itu, pendekatan terbaik bukan hanya menghukum, tapi melatih keterampilan sosial-emosional anak sejak dini.

Baca juga: Tips Menangani Anak Susah Fokus Saat Belajar

Cara Mengatasi Bullying Verbal dan Non Verbal pada Anak

Sobat BRAIN, kabar terbaru dari UNESCO (2024) mengungkap bahwa program intervensi berbasis empati dan keterampilan sosial berhasil menurunkan kasus bullying verbal dan non verbal hingga 35% di sekolah-sekolah yang menerapkannya secara konsisten. 

Data ini menunjukkan satu hal penting: perilaku bullying bisa dicegah dan dikendalikan asalkan anak mendapatkan bimbingan emosional dan lingkungan yang mendukung. 

Tidak cukup hanya dengan memberi nasihat atau hukuman; dibutuhkan kombinasi antara edukasi emosional, kolaborasi dengan sekolah, dan pemahaman tentang kepribadian anak. 

Yuk, Sobat BRAIN, pelajari langkah-langkah ilmiah dan praktis untuk membantu anak menghadapi dan mencegah bullying di sekitar mereka!

1. Bangun Kesadaran dan Empati di Rumah

Orang tua adalah model utama. Anak belajar dari cara kamu berbicara, bereaksi, dan memperlakukan orang lain.

Biasakan menggunakan kata positif, menghargai perbedaan, dan menegur dengan lembut. Saat anak belajar empati di rumah, ia akan membawa nilai itu ke sekolah.

2. Dengarkan Anak Tanpa Menghakimi

Ketika anak bercerita bahwa ia menjadi korban bullying, hal terpenting bukan langsung memberi nasihat, tapi mendengar dengan empati. 

Validasi perasaannya: “Kamu pasti sedih ya waktu diejek begitu.”

Pendekatan ini membuat anak merasa aman dan didukung, bukan disalahkan.

3. Bekerja Sama dengan Sekolah

Laporkan kejadian bullying dengan data dan fakta. Mintalah sekolah membuat sistem pelaporan yang aman dan tidak mempermalukan korban. 

Sekolah perlu membangun lingkungan “zero bullying” melalui pelatihan guru dan siswa tentang empati dan komunikasi sehat.

4. Ajarkan Anak Regulasi Emosi dan Keterampilan Sosial

Keterampilan seperti mengelola amarah, berkata asertif, dan berani berkata “tidak” adalah benteng utama melawan bullying.

Anak yang punya kontrol diri kuat tidak mudah terpengaruh ejekan dan tahu cara melindungi diri tanpa kekerasan.

5. Kenali Kepribadian dan Kecerdasan Anak dengan Tes BRAIN Kid

Nah, Sobat BRAIN, setiap anak unik, yaitu ada yang dominan logika, ada yang perasa, ada pula yang kreatif atau sosial.

Dengan Tes BRAIN Kid, kamu bisa memahami:

  • Cara anak berpikir, belajar, dan bereaksi terhadap tekanan.
  • Pola komunikasi yang membuat anak merasa didengar dan dihargai.
  • Strategi terbaik untuk menumbuhkan kepercayaan diri tanpa agresi.

Pendekatan berbasis kecerdasan dominan dan neurosains ini membantu orang tua mencegah bullying dari dua sisi agar anak tidak menjadi korban dan tidak menjadi pelaku.

Baca juga: Tips Efektif Anak Usia Dini Lebih Fokus Belajar Al Quran

Saatnya Menjadi Orang Tua yang Menangani Efek Bullying secara Tepat

Bullying verbal dan non verbal mungkin tidak selalu terlihat, tapi dampak dari kasus tersebut bisa sangat dalam dan lama. 

Kata-kata bisa menyembuhkan, tapi juga bisa menghancurkan. Tugas kita sebagai orang tua dan pendidik adalah menciptakan lingkungan di mana anak belajar menghargai diri sendiri dan orang lain.

Yuk, Sobat BRAIN, bantu anakmu tumbuh dengan empati, percaya diri, dan sehat secara emosional.

Mulailah dengan memahami kepribadian dan kecerdasan dominan anak melalui Tes BRAIN Kid.

Bangun generasi yang kuat bukan dengan kata kasar, tapi dengan kasih dan pemahaman. Bersama BRAIN Personalities, kita bisa mencegah bullying sejak dari rumah.

Ikuti Sesi Tes BRAIN Kids dan Konsultasi disini

BRAIN Self-discovery asessment for kids - anak - TK -anak usia dini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *